Macan Selem Petulangan Arya Kepakisan

Petulangan Macan selem
” Singgih Cili, lihatlah kebaktian hati hamba sampai dengan hati tingkat ketujuh, kini….. Cili hamba
jadikan Raja (=junjungan), sehingga negara tidak hancur, rakanda Sri Aji Samperangan sulit untuk
dihadap” , demikian hatur Kyayi Klapodhyana kepada Ida I Dewa Ketut Ngulesir. Lama tidak menjawab
akhirnya I Dewa Ketut dengan berlinang air mata beliau bersabda: “apakah guna aku bertakhta menjadi
Dalem sebagai rajamu, kau puja-puja karena aku orang hina, miskin, kasar”. Lagi berkata Kyayi
Kelapodhyana: “yang mulia Cili, janganlah demikian, hanya Cili juga yang hamba jadikan raja, ya… itu
ambil rumah hamba untuk istana Cili, hamba pindah rumah kekebun hamba yang berisi pohon kelapa
(=Tubuh)”. Demikianlah percakapan Kyayi Klapodhyana dengan I Dewa Ketut Ngulesir ketika bertemu
dalam penghadapan di Desa Pandak., itulah alasan permulaan beliau Dalem Ketut beristana di Gelgel, serta diberi nama SWECALINGGARSAPURA. (Babad Arya Kuthawaringin)
Panca Windhu Pramananing rat, candrasengkala : Panca = 5, Windu = 0 Pramana = 3. Rat = 1. Isaka 1305 = 1383 Masehi, Ida I Dewa Ketut Ngulesir dinobatkan menjadi raja Bali bergelar Dalem Ketut Smara
Kepakisan. Menandai perpindahan kekuasaan dari samprangan ke Gelgel yang kemudian menjadi
Ibukota kerajaan dengan nama SWECALINGGARSAPURA. (baca :mengenal I Gusti Kubon Tubuh
putra tertua Arya Kuthawaringin). Kyayi Klapodhyana yang bergelar I Gusti Agung Bandhesa Gelgel kemudian membuat karang kepatihan
yang baru lengkap dengan pemerajan di sebelah barat daya dari karang kepatihan yang lama. Di tempat
itu banyak di tumbuhi pohon kelapa sehingga beliau kmudian hari banyak dikenal sebagai I Gusti
Kubontubuh. Merajan yang dibangun oleh I Gusti Kubontubuh ini diyakini oleh pratisentananya adalah
merajan Kawitan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh sekarang ini(sesuai SK PPSAKK No I/PPK- PSAK/2004 tanggal 25 Januari 2004). Suatu Ketika Kyayi Klapodhyana atau Kryan Patih Klapodhyana berselisih dengan Kyayi Nyuh Aya, perselisihan ini terjadi sebab Kyayi Nyuh Aya tidak bisa menerima dan merasa tersinggung karena
putrinya yaitu I Gusti Ayu Adi hendak diperistri oleh Kyayi Klapodhyana. Semua utusan melalui
perantara ( peradang) ditolak oleh Kyayi Nyuh Aya, karena mengganggap Kyayi Kalpodhyana adalah
orang rendahan tidak jelas keturunanya dan tidak sebanding dengan diri nya, sehingga layak mendapatkan
hukuman mati. Petinggi kerajaan terbelah, sebagian petinggi dan warga pasek memihak I Gusti Kubon
Tubuh, sementara sebagian lagi memihak Kyayi Nyuh Aya
Ida Dalem Ketut Ngulesir merasa galau, beliau merasa sangat prihatin mengingat jasa Kyayi
Klapodhyana kepada dirinya. Di dalam batinya berkecamuk, orang yang demikian besar jasanya harus
diadili, sementara apa yang menjadi tuntutan Kyayi Nyuh Aya juga bukanlah tanpa dasar. Selanjutnya Dalem bersabda kepada Kyayi Nyuhaya: “ hai kamu Punta Nyuhaya, terlalu jauh caramu
berpikir, setidaknya berikan kesempatan kepadaku untuk mencari tahu kebenaran tuduhan-mu, dan sangat
adil kalau aku berikan waktu sekurang-kurangnya dua hari untuk membuktikan wangsa kelahiran-nya.
Kyayi Kelapodiyana, darimana asal mulanya, sehingga tidak terjadi kekalutan dalam kerajaan. Bila
seperti kehendakmu, menginginkan kematiannya, hancur lebur Swecalinggarsapura ini, kenapa demikian, karena Kyayi Kelapodiyana memiliki banyak rakyat yang siap membelanya, demikian pula sanak
keluarganya lebih-lebih lagi kaum bangsawan, apalagi ikut serta seluruh warga Pasek, semua dikuasai
oleh Kyayi Kelapodiyana, karena bijaksana membina rakyat, serta cakap dan senantiasa melindungi rakyat ,pemurah dan manis tutur katanya, tegas, makanya disegani oleh bawahannya”. Tidak berani
durhaka Kyayi Nyuh Aya menurut titah Ida dalem. Ida dalem Kemudian memanggil Kyayi Klapodhyana, di penghadapan persidangan istana yang dihadiri
para patih dan bahudanda Ida Dalem kemudian bersabda: “Duh..kanda Patih Klapodhyana, dengarkanlah
tutur kata saya kepada kanda, bahwa ada pemberitahuan Kyayi Nyuhaya, perihal kanda memperistri
anaknya, I Gusti Ayu Adhi. Tetapi Kyayi Nyuhaya amat keberatan anaknya diambil, sebab tidak tahu
asal-usul kelahiran (=kasta) kanda. Keras kemauannya yaitu untuk membunuh kanda, Bagaimana kanda
Patih, silakan pikirkan itu” Kyayi Klapodhyana terdiam mendengar ucapan Ida dalem kemudian menjawab dengan dengan tenang
“ sungguh sayang sekali kalau dia tidak mengetahui kalau hamba adalah keturunan keraton Daha, itu jelas
termuat dalam “CANDRI SAWALAN” yang kami bawa dari Majapahit, mohon di-ijinkan adik hamba
Parembu untuk mengambilnya”. Bergegas Kyayi Parembu pulang untuk mengambil Candri Sawalan
yang selama ini tersimpan di pemerajan. Tidak berselang lama Kyayi Parembu datang kemudian
menyerahkan Candri Sawalan kepada Ida Dalem untuk dibaca yang ternyata berupa CANDRI
SUPRALINGGA , dua keping perungu bertuliskan huruf Majapahit. CANDRI SUPRALINGGA kemudian dibaca oleh Ida Dalem, dihadapan para Patih dan Menteri, terutama Kyayi Nyuhaya, termuat dengan jelas didalam–nya : Mula-mula Ra Hyang Dimaharaja Manu, melahirkan keturunan beserta turun-turunan-nya, sampai dengan Sirarya Kuthawaringin keturunan Sri
Jayabhaya, dan Sirarya Kepakisan keturunan Sri Jayasabha, demikian dijelaskan di dalamnya….. Setelah
selesai dibacakan, terbukalah hati Dalem, yakin dan percaya dengan tulisan Sanghyang” Candri
Supralingga ”. Namun demikian Kyayi Nyuh Aya masih juga belum puas, Kyayi Nyuh Aya kemudian menyerahkan
sebutir kelapa yang sangat besar, konon ketika baru lahir ari-arinya dibungkus dengan kelapa, kemudian
kelapa itu tumbuh dan berbuah. Kehadapan Ida Dalem, Kyayi Nyuh Aya matur “Paduka yang Mulia
inilah tanda hamba keturunan kepakisan, sekarang berkat paduka hamba mohon supaya besok si
Klapodhayana dapat menghaturkan kelapa yang sama besarnya sebagai tanda hamba satu keturunan
dengan nya.”
Ida dalem bertanya kepada Kyayi Klapodyana.: “ Kanda … Patih Klapodyana, apakah kanda bisa
mendapatkan kelapa sebesar ini sampai besok, kalau dapat bawa kemari, itu sebagai tanda kanda
seketurunan dengan Kyayi Nyuhaya”. Sembah Kyayi Klapodyana ; “Segala titah yang mulia Dalem, hamba tidak durhaka”. lalu bubarlah penghadapan itu. Betapa sedih dan bingung berkecamuk dalam batinnya, karena sangat berat bagi dirinya untuk mencari
buah kelapa sebesar itu. Di karang kepatihan Kyayi Klapodhayana berembug dengan adik-adiknya
bagaimana cara nya mendapatkan buah kelapa yang besarnya sama dengan kepunyaan Nyuh Aya yang
memang sangat besar. Tiba-tiba Kyayi Klapodhyana mendengar bisikan gaib agar datang ke pemerajan. Di pemerajan di temukan ada tunas kelapa yang muncul dari dalam tanah, betapa kaget-nya Kyayi
Klapodhyana, bersama saudara-saudara nya tempat tersebut kemudian di gali dan memang benar disana
didapatkan buah kelapa yang sangat besar, sungguh suatu mujizat dan anugah leluhur yang luar biasa. Esok harinya Kyayi Klapodhyana bersama Kyayi Parembu dan Kyayi Candi diringi oleh para bawahan
dan pendukungnya tangkil kehadapan Ida Dalem. Tidak di gambarkan betapa ramainya balairung istana
oleh pendukung Kyayi Nyuh Aya dan pendukung Kyayi Kalpodhayana, semuanya sangat penasaran
bagaimana perselisihan ini akan berakhir. Betapa tidak hari itu merupakan pembuktian apakah benar seorang Kyayi Klapodhyana yang begitu dihormati di wilayah Gelgel sampai Kelungkung Kacang paos
dan Tojan mampu membuktikan bahwa dirinya sejajar keturunan nya dengan Kyayi Nyuh Aya. Setibanya di penghadapan istana kelapa itu kemudian dihaturkan kehadapan Ida Dalem dan benar kelapa
itu sama besarnya, heran Ida Dalem Ketut atas keberhasilan Kyayi Klapodyana kemudian bersabda: “benar-benar kanda seketurunan dengan Si Nyuhaya, sama antara Kepakisan dengan Kuthawaringin”. Didepan penghadapan istana, Kyayi Klapodhyana kemudian mohon ijin kepada Ida Dalem ingin
mengucapkan sumpah, agar jelas dan tidak diragukan keutama-an leluhurnya, disaksikan oleh Ida Dalem, Kyayi Nyuh Aya, serta para tanda Manteri, para patih, pemuka-pemuka semuanya. Dihadapan pasepan
yang mengepul kuat, Kryan Patih Klapodyana, serta kedua adiknya Kyayi Parembu dan Kyayi Candhi, berbakti kepada Sang Hyang Brahma, kemudian mengucapkan sumpah : “Yang dimuliakan dan
tertinggi, … Sang Hyang Brahma,..hamba dan adik-adik hamba memohon untuk mengucapkan sumpah
kehadapan Bhatara, kalau tidak benar hamba keturunan Manu Wangsa,…. agar hamba ditimpa kutuk dari
paduka Bhatara, semoga hamba tidak memperoleh kebahagiaan, terjatuh dari kebesaran dan kekayaan
hasil dan pangan, kesengsaraan yang paling berat akan hamba dapatkan”. Setelah ketiganya selesai mengucapkan sumpah, bersabda Ida Dalem, kepada Kyayi Nyuhaya sekeluarga, dan kepada Kyayi Klapodhyana sekeluarga: “Duhai… kanda patih berdua, Nyuhaya, Klapodhyana, serta
sanak saudara kanda semua, betul satu keturunanmu, Siwa Wandhira dan Kepakisan. Mulai saat ini kanda
berdua berkeluarga yang rukun, saling asih, saling asah, dan saling asuh, boleh diambil dan mengambil
(=untuk suami/istri), serta saling sembah bersatu sidhikara kanda semua”, demikian sabda Dalem, bersujud.. menurut Kyayi Nyuhaya dan Kyayi Klapodhyana……. Pada satu ketika ada utusan dari Brambangan bahwa wilayah kekuasaan Ida dalem disana diganggu oleh
seekor “macan selem” yang membuat penduduk disana sangat resah dan ketakutan, sudah tidak terhitung
penduduk yang diganggu bahkan dimangsa oleh “macan selem”. Mendengar laporan tersebut, Ida dalem
kemudian mengutus Kryan Patih Kyayi Kalpodhyana untuk berangkat ke Brambangan dan membunuh
“macan selem” . Ida Dalem menganurahi Kyayi Klapodhyana sebuah senjata tulup “Ki Macan Gruguh” dan peluru ”Batur Gumi”. Tidak diceritakan perjalan Kyayi Klaopdhyana meyebrangi lautan, sampailah beliau di Brambangan . Disana Kryan Patih Klapodhyana menanyakan tempat si ”macan selem”, rakyat Berambangan kemudian
matur: ”Ampun tuan hamba, di dalam hutan tempatnya didekat pohon kakacau”. Disana Kryan Patih
Klapodyana dengan gagah perkasa menjelajah ke dalam hutan, banyak binatang yang dijumpa semuanya
lari, seolah tunduk, semuanya seperti kalah dan takut, berlarian binatang-binatang itu. Kyayi Klapodhyana
terus merangsek masuk ke dalam hutan, tiba dibawah pohon kakacu, benar bertemu dengan ”macan
selem”, amat keras mengaum mengintai hendak menerkam, tiba-tiba melompat “macan selem” itu, hendak diterkam Kryan Patih (=Klapodyana), bergelut, berguling, tetapi Kryan Patih Klapodyana tidak
mengalami luka kemudian kembali harimau tersebut ditampar hidungnya. Tidak tergambarkan betapa
sengitnya pertarungan antara “macan selem’ dengan Kyayi Patih Agung Klapodhyana akhirnya “macan
selem” lari kelelahan dikejar oleh Kyayi Klapodyana, dibidik dengan sumpitan pemberian Dalem, dibarengi dengan kesaktiannya (=kekuatan bathin), lalu ditiup (disumpit), dilepaskan peluru “BATUR
GUMI” menusuk lambungnya, tubuh harimau itu bergetar tidak berdaya, kemudian ditikam lehernya
dengan sangkur sumpitan. “macan selem” akhirnya mati ditikam oleh Kyayi klapodhyana. Dalam
perjalanan pulang bertemulah Kyayi Klapodhayana dengan Kyayi Nyuh Aya yang tergopoh-gopoh
hendak menyusul Kyayi Klapodhyana barangkali menantunya memerlukan bantuan. Tidak dilukiskan perjalanan kembali ke Gelgel, diceritakan dalam penangkilan menghadap Ida dalem, Kyayi Klapodhyana menceritakan perjalan beliau dan melaporkan bahwa dirinya sudah berhasil melaksanakan tugas untuk membunuh “macan selem” dan sebagai bukti di tunjukkan kulit “macan
selem’ yang dibawa dari Brambangan kemudian di haturkan kepada Ida dalem. Amat suka cita Ida Dalem, serta beliaumemuji-muji Kryan Patih Klapodhyana, bakti dan tanggung
jawabnya kepada tugas negara sangat besar dan tidak pernah berubah. Teringat Ida Dalem betapa besar
jasa Kryan Patih Klapodhayan kepada dirinya dan kepada kerajaan itulah sebabnya kemudian Ida Dalem
Ketut Semara Kepakisan memberikan anugrah kepada Kyayi Klapodyana, demikian isi karunianya ; “Inilah karuniaku Cili Ketut kepala kanda puntha Klapodyana dan seketurunan almarhum Arya
Kuthawaringin : Aji Purana, dan yang satu turunan denganmu, tidak dikenakan pikul-pikulan, tetegenan, dimanapun tempatnya berada, semua anak cucu turunanmu disayangi oleh raja, menjadi wakil Negara, jelasnya : tidak dikenakan tetegenan, tidak dikenakan cecangkingan, tidak dikenai ambeng-ambengan, dan sesaradan, papiliyan, pacatuwan, dan tidak dikenai oleh dedawuhan (panggilan), atag-atagan (siaran), dan lepas dari pejah punjang panjing; Dan kalau ada kesalahan harus dengan hukum mati, kepada Dalem, boleh diusir, kalau kesalahan dengan hukum usir harus diampuni oleh Raja, pada keturunan-keturunan
Sirarya Kuthawaringin Klapodyana; Dan pada waktu kematian, pada waktu ngaben, sebagai alat
pengusungan jenazah boleh memakai dasar bade, bade tumpang pitu (=7), atman punggel, kapasnya
beraneka warna yang utama warna 9 (Sembilan), madya warna tujuh (7), nista warna lima (5), mauncal
mapering sidapur, wesma silunglung, makajang (kemul), Kalasa, tatak baha (alas pembakaran) papan
Sembilan (9) keping, balai-balai yang tinggi dengan 3 (tiga) tangga (undag), peti pembakaran berbentuk
harimau hitam, memakai tirta pengentas, utama 16.000, madya 8.000, nista 4.000, dan bila ada
menegakkan kebujanggaan (=menjadi bujangga/pendeta), harus dengan upakara yang lengkap, menggunakan seperti yang dipergunakan oleh seorang pendeta, mapaterang, upadesa, jenazah dibungkus
dengan daun pisang kaikik (=sejenis pisang hutan), lengkap dengan upacaranya. Demikian isi anugrahku
Dalem Ketut Cili, kepada kanda Puntha Klapodyana dan turunan Kuthawaringin, jangan tidak yakin yang
menjadi wali Negara, terhadap anugrahku, dan terhadap anak cucu Kyayi Klapodyana, dan saudara- saudaranya semua, bila kamu tidak percaya dikenakan oleh kutukannya Bathara Brahma, berkurang
kesaktianmu, MOGA-MOGA”. Bersabda Ida Dalem kepada Kryan Patih Klapodyana, aduhai… kanda puntha Klapodyana, hendaklah
saya berikan kanda untuk memimpin (=angelingana), kanda haturkan upacara pujawali, demikian perintah
Dalem diterima dengan suka cita oleh Kyayi Klapodyana beserta keluarganya dan berjanji melaksanakan
anugrah Ida Dalem itu dengan baik. Dengan cepat waktu berjalan, telah selesai diperbaiki, bagus kembali
kahyangan/pura TUGU itu, dibantu pula oleh putra-putra Kyayi Nyuhaya, tak henti-hentinya mereka
mendekatkan diri, lama kelamaan saling cinta mencintai mereka semua bagaikan bersaudara, disuruh
nyungsung AJI PURANA, serta menyimpan dirumahnya. Demikianlah keterangan tentang Kyayi Klapodyana memimpin/memelihara parayangan TUGU, serta
menghaturkan PUJAWALI, serta berpesan kepada Kyayi Nyuhaya, dan semua putra-putranya, pada tiap-
tiap pujawali di Tugu, agar dibawa/dituhur dan disimpan di pemerajan, janganlah mengingkari perjanjian, untuk selanjutnya dikutuk oleh Bathara Brahma, semua turunan, saudara-saudara, seluruh anak, cucu
keturunan tidak memperoleh keselamatan. Demikianlah pesan petuah Kyayi Klapodyana kepada Kyayi
Nyuhaya, dan keluarganya semua, dan sumpitan anugrah Dalem, yang dipergunakan membunuh
siharimau hitam, selanjutnya dihadiahkan kepada Kyayi Klapodyana, diberi nama KI MACAN GUGUH.

Arya Kepakisan

BABAD ARYA KEPAKISAN
Setelah Raja Bali yang bergelar Gajah Waktra di Bedahulu, atau disebut juga Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten dapat dikalahkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 M, maka Gajah Mada menempatkan para arya yang mengiringi beliau di Bali. Patih Kerajaan Bedahulu Ki Pasung Grigis tidak dibunuh dan sebagai imbalannya maka Ki Pasung Grigis diperintahkan untuk menyerang Raja Sumbawa, Dedela Natha. Keduanya terbunuh, karena keduanya mempunyai kesaktian yang seimbang.

Setelah Bali ditaklukkan ternyata masih terjadi pemberontakan dimana-mana akibat ketidakpuasan dari penduduk Bali Aga terhadap pemerintahan para arya yang ditugaskan di Bali.  Atas pemikiran Gajah Mada maka Arya Kepakisan  datang ke Bali pada 1352 M diutus oleh raja Majapahit  mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan, untuk memadamkan pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Satu persatu desa Bali Aga yang memberontak dapat ditaklukkan. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan,  mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan, sebagai raja Samprangan I. Dalem Sri Kresna Kepakisan berstana (tempat tinggal) di Samprangan. Sedangkan Arya Kepakisan menuju tenggara dan tiba disebuah tempat. Di tempat itu Beliau menemukan sebuah Kelapa Besar (Nyuh Aya).  Di tempat itulah dipilih sebagai tempat tinggal  yang kemudian diberi nama dengan DESA NYUH AYA, untuk mengenang ditemukannya Kelapa Besar (Nyuh Aya). Tempat itupun diberi tanda/cihna/ciri dengan Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana, dimana di Jawa Timur banyak dijumpai sebagai pohon yang disebut pohon angsana (Pterocarpus indicus).  Taru Agung tersebut  mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah manusia.  Karena keunikan itulah Taru Agung tersebut dipilih sebagai tanda/cihna/ciri, yang dibawa dari Desa Pakis asal Arya Kepakisan. Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana tersebut hingga kini masih bisa dijumpai dan tumbuh subur di Jaba Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
Beberapa sumber yang ada selalu menyatakan Arya Kepakisan yang mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan pada saat tinggal di Bali bertempat tinggal di Desa Nyuh Aya. Beberapa sumber itu menyatakan :

“Dalem Sri Kresna Kepakisan berasal dari keturunan Brahmana, dijadikan Kesatria oleh Baginda Raja Majapahit dan Patih Gajah Mada. Beliau diiringi Arya Kepakisan yang ditunjuk sebagai Patih Agung. Demikianlah adanya sebutan Kepakisan pada kedua nama Beliau yang berasal dari Desa Pakis. Beliau dikukuhkan sebagai Raja dan Mahapatih di Bali karena memang keturunan Ksatria baru yang sebagai penguasa Bali. Itulah dijuluki dengan gelar Kresna Kepakisan. Demikian halnya Arya Kepakisan sebagai Patih Agung hingga kelak keturunan menjabat sebagai Perdana Menteri dan Sekretaris Kerajaan. Selanjutnya Dalem Sri Kresna Kepakisan bersthana di Samprangan dan  Patih Baginda di Nyuhaya, Sehingga terkenal dengan sebutan I Gusti Nyuhaya di masyarakat” (Babad Dalem oleh Drs. Ida Bagus Rai Putra).

Sebuah rangkuman tulisan menyatakan “Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Beliau tinggal di Puri Nyuh Aya, karenanya beliau disebut juga Pangeran Nyuh Aya atau Ida Dewa Nyuh Aya” (Sumber Babad Bali oleh Yayasan Bali Galang, Denpasar)

Sebuah buku yang bahannya dikumpulkan oleh I Gusti Agung Gede Rai Manguwangsa, dari Puri Kaleran  Selat-Sangeh, Abiansemal-Badung sangat jelas diulas tentang Arya Kepakisan. Dalam buku tersebut tertulis ”Kesuen-suen sesampune para arya tedun ring Bali, wenten pebalik (pembrontak) ring desa-desa. Ida Bethara Arya Kepakisan sane keutus Sri  Aji Majapahit, nampih Ida Dalem Ktut Sri Kresna Kepakisan ring Bali, pinaka Patih Agung. Ida kairing olih wesya tiga sanak minekadi : Si Tan Kaur, Si Tan Kober, Si Tan Mundur, maka pamucuk ngrejek para pebalik saking kulon ngantos ke wetan desa-desa : Kedampal, Bonyoh, Belong, Ban, Datah. Setedune ring Bali, pengawit Ida mapuri ring Nyuhaya. Nika mawinan Ida mapesengan Pangeran Nyuhaya”.
Pada bait terakhir  dari Pamencangah yang tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) tertulis “Asak aoka Pangeran Nginte, Pangeran Nginte ngeanis Sira Jaya Keta. Telas brasta wayang paperangan.  Arya Kediri Putrane Jayasabha aputra Arya Kepakisan, iki ngembatang maring Bali, tekep ira pada. Sane kasentane kemajelangu, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Kedutan, malih sira Wang Bang, Tan Kober, Tan Kabur, Tan Mundur, kameokas Arya Kutawaringin sama angiringang Arya Kepakisan. Malih Arya Kepakisan asentane Pangeran Nyuh Aya, masentane pepitu, pinih werde Petandakan, Satra, Pelangan, Akah, Kloping, Cacaran, Anggan. Iki rerajahan Kajang maring Pemerajan Arya Nyuh Aya”.  

Dari Pamencangah tersebut sangat jelas tersurat dan tersirat bahwa Pemerajan Beliau terdapat di Desa Nyuh Aya, sehingga disebut Pemerajan Arya Nyuh Aya, yang dimaksud tiada lain adalah Pemerajan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), dan untuk mengenang Desa Nyuh Aya, Putra beliau juga diberi nama Pangeran Nyuh Aya, karena lahir di Desa Nyuh Aya.

Kalau disimak dari beberapa uraian diatas, maka jelas ketika pertama kali datang ke Bali Arya Kepakisan menempati sebuah tempat yang diberi nama Desa Nyuh Aya. Oleh karena demikian Beliau  pun bernama Arya Nyuh Aya.

Berdasarkan dresta yang ada secara turun-temurun, yang ditemukan hingga kini ada semacam kepercayaan bila menyebut nama asli para orang tua atau leluhur akan menjadi “Tulah atau Pamali atau Premada”. Kepercayaan itu diajarkan kepada anak-anak dimaksudkan untuk selalu berbakti kepada orang tua. Namun ada kelemahan terhadap keadaan semacam itu, para generasi penerus tidak akan mengenal nama asli orang tuanya. Begitu juga dengan Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan, para orang tua di Sidayu Nyuhaya sangat pantang menyebut nama asli Beliau, sehingga lama kelamaan nama asli Beliau pun semakin tidak dikenal dikalangan generasi berikutnya dan Beliau  lebih dikenal dengan nama Arya Nyuh Aya.  Bahkan sebutan Beliau pun lebih populer dengan ARYA NYUH AYA. 
Arya Kepakisan atau Arya Nyuh Aya mempunyai dua putra yaitu Pangeran Nyuh Aya (lahir di Desa Nyuh Aya) dan Pangeran Made Asak (lahir di Gelgel). Pangeran Nyuh Aya mempunyai putra 7 orang yaitu Arya Petandakan, Arya Satra, Arya Pelangan, Arya Akah, Arya Kloping, Arya Cacaran, Arya Anggan dan seorang putri yang bernama Winiayu Adi, kemudian dipersunting oleh Arya Klapodiayana  (Arya Kebon Tubuh) putra Arya Kutawaringin. Sedangkan Pangeran Made Asak berputra Arya Nginte” sesuai yang tersurat dan tersirat dalam Pamencangah di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).

Sanggah Kemulan

Tingkatan sanggah
Selain sanggah kemulan, yang termasuk ke dalam pura kawitn yaitu pura paibon, panti dan pedarman. Bedanya, lingkup penyungsung sanggah kemulan lebih terbatas yaitu keluarga inti terdekat yang masih serumah atau senatah (beberapa rumah dalam satu halaman).
Sedangkan pura kawitan yang lain, dalam lontar siwagama disebutkan, apabila keluarga inti sudah berkembang menjadi 10 keluarga hendaknya mendirikan pelinggih gedong pertiwi, jika sudah menjadi 20 keluarga hendaknya mendirikan palinggih ibu, dan kalau sudah mencapai 40 keluarga membangun pura panti. Akhirnya pura kawitan (yang fungsinya sebagai pemersatu dari keluarga – keluarga yang satu sama lain memiliki ikatan keturunan meski berasal dari keturunan jauh sekalipun) disebut pura pedharman. Di pura pedharman inilah seseorang akan mengetahui bahwa walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak saling mengenal, ternyata mereka berasal dari keturunan yang sama. Ibarat ranting – ranting pohon yang tidak saling bersentuhan , tetapi kesemua ranting berpangkal pada akar yang sama (satu).
Masih dalam Rontal Siwagama disebutkan bahwa dalam 20 Dadia Tunggal, ada satu Pura Ibu. Lalu dalam 10 Dadia tunggal, ada satu Pelinggih Pratiwi. Dan setiap Dadia Tungal, ada satu Pelinggih Kamulan. 
Inti daripada isi lontar tersebut, pertama, sesunggil karangan paumahan atau satu teritorial pekarangan rumah, berapapun kepala keluarga (KK) yang ada di dalamnya, itu wajib membangun Perihyangan yang disebut Sangar Kabuyutan, itu Kemulan Taksu.
Dalam lontar Siwa Gama, 10 atau lebih keluarga inti dalam satu pekarangan yang terdiri dari beberapa KK itu, harus membuat ikatan kekerabatan berdasarkan satu keturunan yang disebut Sanggah Gede/Merajan Agung atau disebut juga dengan istilah Merajan Pertiwi.
Bila nantinya kepala keluarga ini bertambah, tersebar di beberapa tempat, lalu mendirikan Sanggah Gede/Merajan Agung lebih dari satu, maka wenang ngwangun Paibon.
Bila nanti jumlah Pura Paibon bertambah minimal dua, selanjutnya wajib membangun Pura Panti.
Selanjutnya setelah beberapa Pura Panti didirikan oleh satu soroh keluarga tersebut, barulah membuat Pura Dadia.
Pura Paibon, Panti, dan Dadia itu tidak lain bertujuan untuk merekatkan persaudaraan kita dengan sesama, sebagai warih leluhur.
Dalam ajaran agama Hindu, pemujaan terhadap leluhur merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pratisentana (keturunan).
Di dalam kitab Tri Dewa Bawa yang meliputi ibu (Mitri Dewa Bawa), peran seorang bapak dalam rumah tangga (Pitri Dewa Bawa), dan peran seorang guru dalam rumah tangga (Acarya Dewa Bawa) merupakan penjelmaan dewata.
Karena itu harus wajib untuk dipuja. Dalam kekawin Ramayana, dijelaskan bagaimana integritas moral dari Prabu Dasarata itu dikatakan,Tarmalupeng Pitra Puja, artinya tidak lupa pemujaan kepada leluhur.
Dalam rangka pemujaan terhadap leluhur ini ada tahapannya. 
Hal itu tertuang dalam berbagai kitab, seperti Iti Prakerti, Siwa Gama, Putusan Bhagawan Manohari, dan Jajar Kemiri.
Inti daripada isi lontar tersebut, pertama, sesunggil karangan paumahan atau satu teritorial pekarangan rumah, berapapun kepala keluarga (KK) yang ada di dalamnya, itu wajib membangun Perihyangan yang disebut Sangar Kabuyutan, itu Kemulan Taksu.
Dalam lontar Siwa Gama, 10 atau lebih keluarga inti dalam satu pekarangan yang terdiri dari beberapa KK itu, harus membuat ikatan kekerabatan berdasarkan satu keturunan yang disebut Sanggah Gede/Merajan Agung atau disebut juga dengan istilah Merajan Pertiwi.
Bila nantinya kepala keluarga ini bertambah, tersebar di beberapa tempat, lalu mendirikan Sanggah Gede/Merajan Agung lebih dari satu, maka wenang ngwangun Paibon.
Dalam ajaran agama Hindu, pemujaan terhadap leluhur merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pratisentana (keturunan).

Di dalam kitab Tri Dewa Bawa yang meliputi ibu (Mitri Dewa Bawa), peran seorang bapak dalam rumah tangga (Pitri Dewa Bawa), dan peran seorang guru dalam rumah tangga (Acarya Dewa Bawa) merupakan penjelmaan dewata.
Karena itu harus wajib untuk dipuja. Dalam kekawin Ramayana, dijelaskan bagaimana integritas moral dari Prabu Dasarata itu dikatakan,Tarmalupeng Pitra Puja, artinya tidak lupa pemujaan kepada leluhur.
Dalam rangka pemujaan terhadap leluhur ini ada tahapannya. 
Hal itu tertuang dalam berbagai kitab, seperti Iti Prakerti, Siwa Gama, Putusan Bhagawan Manohari, dan Jajar Kemiri.
Inti daripada isi lontar tersebut, pertama, sesunggil karangan paumahan atau satu teritorial pekarangan rumah, berapapun kepala keluarga (KK) yang ada di dalamnya, itu wajib membangun Perihyangan yang disebut Sangar Kabuyutan, itu Kemulan Taksu.

Dalam lontar Siwa Gama, 10 atau lebih keluarga inti dalam satu pekarangan yang terdiri dari beberapa KK itu, harus membuat ikatan kekerabatan berdasarkan satu keturunan yang disebut Sanggah Gede/Merajan Agung atau disebut juga dengan istilah Merajan Pertiwi.

Bila nantinya kepala keluarga ini bertambah, tersebar di beberapa tempat, lalu mendirikan Sanggah Gede/Merajan Agung lebih dari satu, maka wenang ngwangun Paibon.
Bila nanti jumlah Pura Paibon bertambah minimal dua, selanjutnya wajib membangun Pura Panti.
Pura Panti ini minimal 40 teritorial perumahan.
Selanjutnya setelah beberapa Pura Panti didirikan oleh satu soroh keluarga tersebut, barulah membuat Pura Dadia.
Dengan demikian, pengempon Pura Ibu, Pura Panti dan Pura Dadya pastilah satu soroh sebab berasal dari satu leluhur.
Kalau kita perhatikan, itu baru strukturnya.
Lalu apa sesungguhnya tujuan dari didirikannya Pura Paibon, Panti, dan Dadia itu?
Di dalam ajaran agama Hindu, eksklusivisme (kekhususan) tidak pernah diajarkan walaupun kita berasal dari keluarga yang paling tinggi derajatnya.
Pura Paibon, Panti, dan Dadia itu tidak lain bertujuan untuk merekatkan persaudaraan kita dengan sesama leluhur.
Kembali ditegaskan, walaupun kita dari wangsa manapun, kalau kita kembali pada trio filosofis ajaran agama Hindu, bahwa leluhurnya, dari manapun Dadia-nya, kalau sudah berada/menghaturkan bakti di Penataran Agung Besakih, soroh kita sudah lebur.

Sketsa Pura Keluarga
Sanggah kemulan/Merajan Alit (1 kk atau lebih dalan 1 pekarangan) ——merajan Agung (10 kk)/gedong pertiwi———–Paibon (min 2 Merajan Agung/20 kk)——–Panti (min 2 paibon/40 kk)———Dadia (min 2 atau lebih panti)—————–Pedarman (Besakih).